Privasi Pasien dalam Penyakit Menular Tuberculosis: Etika dan Tantangan dalam Kesehatan Masyarakat
Penulis :
Wahdaniah
Mahasiswa Program
Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Tuberkulosis (TB) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis, yang merupakan patogen yang signifikan secara
epidemiologis dan klinis di seluruh dunia. TB tetap menjadi masalah kesehatan
global yang mendesak, dengan prevalensi yang terus meningkat, terutama di
negara-negara dengan beban tinggi. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO), TB adalah salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit menular,
dan tantangan yang dihadapi dalam pengendalian TB semakin kompleks dengan
munculnya strain yang resisten terhadap obat.
Dalam penanganan penyakit menular seperti Tuberkulosis
(TB), prinsip privasi pasien sering kali berbenturan dengan upaya pengendalian
infeksi yang bersifat publik. TB, sebagai penyakit yang mudah menular,
memerlukan pendekatan kesehatan masyarakat yang efektif, namun juga menuntut
penghormatan terhadap hak-hak pasien, termasuk hak atas privasi. Tantangan etis
muncul ketika data medis dan informasi status kesehatan pasien harus dikelola
dengan tujuan melindungi masyarakat luas tanpa melanggar privasi individu.
Prinsip etika dalam privasi
pasien meliputi: Autonomi (Pasien memiliki hak untuk mengontrol
informasi pribadinya) Nonmaleficence (Kewajiban untuk tidak menimbulkan
bahaya pada pasien) Beneficence (Tindakan untuk kepentingan terbaik
pasien) dan Keadilan (Keseimbangan antara kepentingan pasien dan
masyarakat luas). Dalam konteks TB, prinsip ini menuntut pemahaman yang
mendalam tentang bagaimana hak privasi dapat dihormati tanpa mengorbankan
kesehatan publik
Salah satu aspek etika utama dalam konteks TB adalah
perlindungan data pasien. Data tentang status TB seseorang adalah informasi
yang sensitif, dan penyebarannya dapat menimbulkan stigma sosial, diskriminasi,
dan kehilangan pekerjaan. Meski demikian, ada kondisi-kondisi tertentu di mana
penyebaran informasi menjadi penting demi meminimalkan risiko penularan,
terutama dalam lingkungan kerja atau komunitas padat. Ketika intervensi publik
diperlukan, seperti pelacakan kontak atau kampanye deteksi dini, informasi
tentang pasien TB seringkali harus dibagikan kepada pihak ketiga, termasuk
petugas kesehatan atau organisasi kesehatan setempat. Proses ini menghadirkan
dilema antara kewajiban untuk melindungi hak individu dan kebutuhan untuk
melindungi kesehatan masyarakat.
Beberapa undang-undang kesehatan di Indonesia mengatur
privasi pasien, termasuk UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan UU No. 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Aturan ini memberikan landasan
hukum tentang informasi apa yang boleh atau tidak boleh diungkapkan dalam
penanganan penyakit menular, termasuk TB. Pengaturan ini perlu diselaraskan
dengan kebijakan kesehatan yang mendukung transparansi dalam pencegahan
penyakit.
Secara hukum, prinsip kerahasiaan medis melindungi
privasi pasien, tetapi dalam praktik, sering terdapat ketidakjelasan dalam
penerapannya, terutama dalam penyakit menular seperti TB. Di satu sisi, ada
keharusan untuk mengedukasi masyarakat dan memitigasi penyebaran. Di sisi lain,
pasien TB yang terdiagnosis tidak boleh merasa dihakimi atau distigma akibat
informasi mereka. Inilah yang menjadi tantangan utama bagi para tenaga
kesehatan: bagaimana memastikan informasi yang dibagikan memiliki dampak positif
untuk mengatasi penyebaran, namun tetap menjaga martabat pasien.
Dalam merespons tantangan ini, lembaga kesehatan perlu
memperkuat kebijakan yang melindungi hak privasi sekaligus mengatasi risiko
penyebaran penyakit. Edukasi publik yang berbasis fakta, bukan ketakutan,
sangat penting agar masyarakat memiliki pemahaman yang benar tentang TB dan
dapat mendukung upaya pencegahan tanpa melanggar privasi pasien. Teknologi juga
berperan penting, seperti penggunaan sistem informasi yang meminimalkan
pelibatan identitas pribadi dalam pelacakan kontak.
Sebagai kesimpulan, kebijakan kesehatan masyarakat
dalam menangani penyakit menular seperti TB harus selalu mempertimbangkan etika
privasi pasien. Dengan strategi yang mempertimbangkan hak individu sekaligus
menjaga kesehatan publik, kita dapat membangun lingkungan yang lebih inklusif,
aman, dan responsif terhadap kebutuhan semua pihak.