Hak Asasi Manusia Lansia dalam Perawatan Kesehatan

  • 12:44 WITA
  • Administrator
  • Artikel

Hak Asasi Manusia Lansia dalam Perawatan Kesehatan

Penulis : Eny Sutria S.Kep., Ns., M.Kes

(Mahasiswa Program S3 Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)


15 Juni 2024 seluruh negara kembali memperingati Hari Kesadaran Penelantaran Lansia Sedunia, termasuk Indonesia, yang tahun ini mengusung tema "Memperhatikan Lansia yang Dalam Keadaan Darurat". Menurut data terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 1 dari 6 orang dewasa berusia di atas 60 tahun mengalami penelantaran dalam berbagai bentuk, baik fisik, emosional, maupun finansial. Di negara-negara berkembang, angka ini bisa mencapai 50%, dengan banyak lansia yang tinggal sendiri dan tanpa dukungan keluarga. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan urbanisasi yang terus meningkat, masalah penelantaran lansia menjadi isu yang semakin mengkhawatirkan, banyak lansia yang masih merasa terasing dan terabaikan, menciptakan bayang-bayang kesepian dalam hidup mereka. Di tengah dinamika sosial yang terus berubah, perhatian terhadap hak asasi manusia lansia dalam perawatan kesehatan menjadi semakin penting. Lansia, sebagai kelompok yang rentan, sering kali menghadapi tantangan yang unik, dan penting untuk memastikan bahwa mereka diperlakukan dengan martabat dan penghormatan. Meskipun terdapat regulasi yang mengatur perlindungan hak-hak lansia, kenyataannya, banyak lansia yang terpinggirkan dan tidak mendapatkan perhatian yang layak dari negara.

Hak asasi manusia lansia mencakup hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang berkualitas dan akses yang setara terhadap layanan medis. Sayangnya, dalam praktiknya, banyak lansia yang masih mengalami diskriminasi dan pengabaian. Beberapa di antara mereka terjebak dalam sistem kesehatan yang tidak selalu responsif terhadap kebutuhan mereka, baik secara fisik maupun emosional. Misalnya, banyak lansia yang tidak mendapatkan diagnosis yang tepat atau pengobatan yang sesuai hanya karena usia mereka. Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, mayoritas lansia di Indonesia bekerja di sektor informal, dengan 46,22% di antaranya memperoleh pendapatan kurang dari satu juta rupiah per bulan. Dalam hal kesehatan, 96,46% lansia mengobati keluhan kesehatannya, baik secara mandiri maupun dengan berobat jalan. Namun, banyak lansia yang mengalami penelantaran, kekerasan verbal dan non-verbal, serta praktik diskriminasi yang menghambat kualitas hidup mereka. Kondisi lansia yang memprihatinkan ini tidak sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap warga negara yang berusia lanjut berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus untuk menjamin kehidupan yang layak. Namun, banyak lansia yang tidak mendapatkan hak-hak ini, dan stigma sebagai individu yang tidak produktif semakin memperburuk keadaan.

Pengurus Asosiasi LBH APIK Budi Wahyuni mencatatkan sejumlah persoalan dasar yang dihadapi para lansia. Antara lain tidak mampu membayar iuran BPJS, tidak terdata sebagai kelompok miskin saat pandemi corona, dan tidak memiliki KTP. Hal ini sejalan dengan penjelasan Vita Priantina Dewi, peneliti dari Center for Ageing Society (CAS) Universitas Indonesia mengatakan Sebagian besar lansia adalah perempuan. Jadi lansia perempuan cenderung hidup lebih lama, namun sakit-sakitan. Ini menurut WHO. Lansia juga masih banyak yang bekerja, namun masih ada yang tidak punya jaminan kesehatan," jelas Vita.

Satu aspek penting dari hak asasi manusia lansia adalah otonomi. Lansia berhak untuk membuat keputusan mengenai kesehatan dan perawatan mereka sendiri. Namun, sering kali, keputusan ini diambil oleh anggota keluarga atau tenaga medis tanpa melibatkan mereka. Hal ini tidak hanya merampas hak mereka, tetapi juga dapat mengakibatkan perasaan kehilangan kontrol dan frustrasi. Oleh karena itu, penting untuk membangun komunikasi yang baik antara pasien lansia dan penyedia layanan kesehatan, sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif dalam perawatan mereka. Lebih jauh lagi, lansia juga berhak untuk menerima perawatan yang bebas dari penyalahgunaan dan penelantaran. Dalam beberapa kasus, lansia menjadi korban penelantaran, baik secara fisik maupun emosional, yang merusak kesehatan dan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, sistem perawatan kesehatan harus dilengkapi dengan mekanisme yang kuat untuk melindungi lansia dari segala bentuk penyalahgunaan dan diskriminasi.

 Model teori yang dapat diterapkan dalam pembahasan ini adalah teori konsekuensi fungsional untuk promosi kesehatan bagi lansia (Functional Consequences Theory for Promoting Wellness in Older Adults) diperkenalkan oleh Carol A. Miller. Perawat dapat menggunakan model keperawatan ini di berbagai situasi dimana tujuan dari keperawatannya ialah promosi kesehatan bagi lansia. The Functional Consequences Theory terdiri dari teori tentang penuaan, lansia, dan keperawatan holistik yaitu mengobservasi akibat dari tindakan, faktor risiko, dan perubahan terkait usia yang mempengaruhi kualitas hidup atau aktivitas sehari-hari dari lansia. Akses terhadap informasi juga merupakan hak penting bagi lansia. Mereka berhak untuk memahami kondisi kesehatan mereka dan opsi perawatan yang tersedia. Edukasi yang baik dan transparan dapat membantu lansia membuat keputusan yang lebih baik tentang kesehatan mereka.

Dengan meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia lansia dalam perawatan kesehatan, kita dapat mendorong perubahan positif dalam sistem kesehatan. Kesejahteraan lansia seharusnya menjadi prioritas, dan sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa mereka mendapatkan perawatan yang layak, penuh kasih, dan menghormati martabat mereka. Vita mendorong negara untuk memberdayakan penduduk lansia dalam pembangunan masyarakat. Menurutnya, pemberdayaan ini tidak hanya untuk kesejahteraan mereka, namun juga untuk pemenuhan psikologi, sosial dan kesehatan lansia. Melalui pendekatan yang humanis dan inklusif, kita bisa menciptakan lingkungan di mana lansia tidak hanya diperlakukan sebagai objek perawatan, tetapi sebagai individu yang memiliki hak, suara, dan nilai. Dengan demikian, kita tidak hanya memenuhi tanggung jawab etis, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab untuk semua, termasuk lansia.