Hak
Asasi Manusia Lansia dalam Perawatan Kesehatan
Penulis : Eny Sutria S.Kep., Ns., M.Kes
(Mahasiswa Program S3 Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin)
15
Juni 2024 seluruh negara kembali memperingati Hari Kesadaran Penelantaran
Lansia Sedunia, termasuk Indonesia, yang tahun ini mengusung tema
"Memperhatikan Lansia yang Dalam Keadaan Darurat". Menurut data
terbaru dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 1 dari 6 orang dewasa
berusia di atas 60 tahun mengalami penelantaran dalam berbagai bentuk, baik
fisik, emosional, maupun finansial. Di negara-negara berkembang, angka ini bisa
mencapai 50%, dengan banyak lansia yang tinggal sendiri dan tanpa dukungan
keluarga. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan urbanisasi yang terus
meningkat, masalah penelantaran lansia menjadi isu yang semakin
mengkhawatirkan, banyak lansia yang masih merasa terasing dan terabaikan,
menciptakan bayang-bayang kesepian dalam hidup mereka. Di tengah dinamika
sosial yang terus berubah, perhatian terhadap hak asasi manusia lansia dalam
perawatan kesehatan menjadi semakin penting. Lansia, sebagai kelompok yang rentan,
sering kali menghadapi tantangan yang unik, dan penting untuk memastikan bahwa
mereka diperlakukan dengan martabat dan penghormatan. Meskipun terdapat
regulasi yang mengatur perlindungan hak-hak lansia, kenyataannya, banyak lansia
yang terpinggirkan dan tidak mendapatkan perhatian yang layak dari negara.
Hak
asasi manusia lansia mencakup hak untuk mendapatkan perawatan kesehatan yang
berkualitas dan akses yang setara terhadap layanan medis. Sayangnya, dalam
praktiknya, banyak lansia yang masih mengalami diskriminasi dan pengabaian.
Beberapa di antara mereka terjebak dalam sistem kesehatan yang tidak selalu
responsif terhadap kebutuhan mereka, baik secara fisik maupun emosional.
Misalnya, banyak lansia yang tidak mendapatkan diagnosis yang tepat atau
pengobatan yang sesuai hanya karena usia mereka. Menurut data dari Survei
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2019, mayoritas lansia di Indonesia bekerja
di sektor informal, dengan 46,22% di antaranya memperoleh pendapatan kurang
dari satu juta rupiah per bulan. Dalam hal kesehatan, 96,46% lansia mengobati
keluhan kesehatannya, baik secara mandiri maupun dengan berobat jalan. Namun,
banyak lansia yang mengalami penelantaran, kekerasan verbal dan non-verbal,
serta praktik diskriminasi yang menghambat kualitas hidup mereka. Kondisi
lansia yang memprihatinkan ini tidak sejalan dengan tujuan pembangunan
berkelanjutan yang dicanangkan oleh pemerintah. Pasal 42 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap warga negara yang
berusia lanjut berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan
khusus untuk menjamin kehidupan yang layak. Namun, banyak lansia yang tidak
mendapatkan hak-hak ini, dan stigma sebagai individu yang tidak produktif
semakin memperburuk keadaan.
Pengurus
Asosiasi LBH APIK Budi Wahyuni mencatatkan sejumlah persoalan dasar yang
dihadapi para lansia. Antara lain tidak mampu membayar iuran BPJS, tidak
terdata sebagai kelompok miskin saat pandemi corona, dan tidak memiliki
KTP. Hal ini sejalan dengan penjelasan Vita Priantina Dewi, peneliti dari
Center for Ageing Society (CAS) Universitas Indonesia mengatakan Sebagian besar
lansia adalah perempuan. Jadi lansia perempuan cenderung hidup lebih lama,
namun sakit-sakitan. Ini menurut WHO. Lansia juga masih banyak yang bekerja,
namun masih ada yang tidak punya jaminan kesehatan," jelas Vita.
Satu
aspek penting dari hak asasi manusia lansia adalah otonomi. Lansia berhak untuk
membuat keputusan mengenai kesehatan dan perawatan mereka sendiri. Namun,
sering kali, keputusan ini diambil oleh anggota keluarga atau tenaga medis
tanpa melibatkan mereka. Hal ini tidak hanya merampas hak mereka, tetapi juga
dapat mengakibatkan perasaan kehilangan kontrol dan frustrasi. Oleh karena itu,
penting untuk membangun komunikasi yang baik antara pasien lansia dan penyedia
layanan kesehatan, sehingga mereka dapat berpartisipasi aktif dalam perawatan
mereka. Lebih jauh lagi, lansia juga berhak untuk menerima perawatan yang bebas
dari penyalahgunaan dan penelantaran. Dalam beberapa kasus, lansia menjadi
korban penelantaran, baik secara fisik maupun emosional, yang merusak kesehatan
dan kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, sistem perawatan kesehatan harus
dilengkapi dengan mekanisme yang kuat untuk melindungi lansia dari segala
bentuk penyalahgunaan dan diskriminasi.
Model teori yang dapat diterapkan dalam
pembahasan ini adalah teori konsekuensi fungsional untuk promosi kesehatan bagi
lansia (Functional Consequences Theory for Promoting Wellness in Older Adults)
diperkenalkan oleh Carol A. Miller. Perawat dapat menggunakan model keperawatan
ini di berbagai situasi dimana tujuan dari keperawatannya ialah promosi
kesehatan bagi lansia. The Functional Consequences Theory terdiri dari teori
tentang penuaan, lansia, dan keperawatan holistik yaitu mengobservasi akibat
dari tindakan, faktor risiko, dan perubahan terkait usia yang mempengaruhi
kualitas hidup atau aktivitas sehari-hari dari lansia. Akses terhadap informasi
juga merupakan hak penting bagi lansia. Mereka berhak untuk memahami kondisi
kesehatan mereka dan opsi perawatan yang tersedia. Edukasi yang baik dan
transparan dapat membantu lansia membuat keputusan yang lebih baik tentang
kesehatan mereka.
Dengan meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia lansia dalam perawatan kesehatan, kita dapat mendorong perubahan positif dalam sistem kesehatan. Kesejahteraan lansia seharusnya menjadi prioritas, dan sebagai masyarakat, kita memiliki tanggung jawab untuk menjamin bahwa mereka mendapatkan perawatan yang layak, penuh kasih, dan menghormati martabat mereka. Vita mendorong negara untuk memberdayakan penduduk lansia dalam pembangunan masyarakat. Menurutnya, pemberdayaan ini tidak hanya untuk kesejahteraan mereka, namun juga untuk pemenuhan psikologi, sosial dan kesehatan lansia. Melalui pendekatan yang humanis dan inklusif, kita bisa menciptakan lingkungan di mana lansia tidak hanya diperlakukan sebagai objek perawatan, tetapi sebagai individu yang memiliki hak, suara, dan nilai. Dengan demikian, kita tidak hanya memenuhi tanggung jawab etis, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih adil dan beradab untuk semua, termasuk lansia.